26 Desember 2012

Selamat Natal Untuk MUI

Pssst...

Sebenarnya ya, setiap manusia itu diam-diam bebas memaknai perayaan natal (dan apapun) sesuai tingkat pemahamannya masing-masing lho.

Bagi saya yang tidak memuja Yesus, makna natal adalah kemacetan terkutuk, kemana-mana susah. Saya merayakannya dengan berusaha diam di rumah atau menghindari jalan-jalan utama. Dalam kasus saya, kalau ada yang bilang 'selamat natal', artinya  'selamat macet, sukurin, mwahaha'.

Sedangkan bagi teman yang buruh pabrik, natal dia maknai sebagai liburan. Jadi bisa bangun siang, bisa berkumpul sama keluarga. Di sini 'selamat natal' = 'selamat liburan dan berkumpul bareng keluarga'.

Bagi teman yang nasrani, ya seperti yang kita lihat lah, artinya liburan, belanja, misa, pesta, ke gereja lagi, pesta  lagi, hihi. Selamat natal untuk mereka mungkin ya umum aja. Tak perlu dijelaskan.

Naaah... Sekarang bagi MUI niiih... Makna natal buat mereka apa ya?

Ini sebenarnya sudah rahasia umum, mulai dari kakek sampai cucu tahu. MUI itu memaknai hari natal sebagai waktu yang tepat untuk menunjukkan betapa luas kebijaksanaan dan kedalaman ilmu agama mereka.

Dan untuk merayakan natal, mereka menerbitkan fatwa mengharamkan orang Islam mengucapan selamat natal pada tetangganya yang merayakan natal... Karena menurut mereka, mengucap natal sama saja mengakui trinitas dan menyalahi akidah Islam.

Ya begitu itulah cara MUI memaknai dan merayakan natal. Maka itu, walaupun sedikit terlambat, mari kita ucapkan selamat natal bagi MUI.

Selamat Natal MUI, semoga kebijaksanaan MUI semakin luas dan menerangi seluruh penjuru dunia akhirat :)

- - - - -

Oh, mengenai pernyataan "ucapan selamat itu sama dengan mengakui kebenaran yang diucapi selamat". Perlu saya jelaskan bahwa sebenarnya saya berbeda pendapat.

Gini, saya juga sering tuh mengucapkan "selamat merokok" pada perokok yang pamit keluar untuk merokok. Apakah artinya saya menyetujui dan mengikuti para pecandu rokok? Apakah artinya akidah saya rusak dan hijrah jadi perokok? Tidak tuh.

Saya tetap tidak merokok karena tahu merokok tidak baik untuk saya, kebanyakan peneliti juga sejak lama sependapat dengan saya. Namun saya juga sadar bahwa orang yang merokok itu sudah kecanduan, mau dikasih argumen seperti apapun tetap percuma. Seperti orang kecanduan agama, perokok itu juga senasib. Logika  tak ada guna. Masih untung masih bisa mikir dan pamit mencari tempat agar merokoknya tidak membahayakan orang lain. Yang kecanduannya parah itu biasanya sudah tidak mampu berpikir, begitu sakaw langsung saat itu juga mengeluarkan rokok dan disulut disitu juga, persetan dengan orang sekitarnya.

Jadi ucapan selamat merokok sebenarnya sebatas menyampaikan empati: "selamat merayakan kecanduan kamu, selamat membungkam sementara jeritan berjuta sel yang gelisah dan sakau  tembakau, semoga setelah itu kamu bersemangat lagi untuk memutar roda ekonomi."

Jadi bagi saya, ucapan selamat itu maknanya bisa luas, sedikit lebih luas dari makna versi MUI yang sangat bijaksana dan menakjubkan itu.

Memang, sebagian orang muda merasa MUI bikin fatwa yang memecah belah kerukunan warga Indonesia. Sebagian lain malah menuduh mereka dibawah pengaruh Wahabi. Tapi saya rasa penyebab sebenarnya hanya karena faktor U saja. Uzur, lahir maupun batin. Itulah mengapa MUI jadi luar biasa bijaksana dan begitu berani mengatasnamakan Islam dan Allah untuk mempromosikan fatwa seperti itu... lengkap dengan alasannya yang menakjubkan.

Jadi gitu ya adik-adik, tante dan om-om sekalian.

Sekali lagi, marilah dengan ceria kita ucapkan selamat natal pada MUI. Semoga kebijaksanan mereka yang seluas samudera dapat mencerahkan seluruh penjuru dunia dan akhirat.

Selamat Natal MUI :)

24 Desember 2012

Hei Jokowi, Tempat Sampah Gue Penuh, Kuras Gih!

Meneriaki Gubernur seperti itu kedengaran tidak enak dan tidak sopan. Tapi itulah inti sebenarnya dari jeritan hati warga bantaran yang suka membuang sampah ke dalam sungai.

Andai saya termasuk orang yang setiap pagi (dan sore) melempar sekeresek sampah  ke tengah sungai, lalu suatu ketika berlagak heran kenapa sungai jadi sangat kotor, mampet dan meluap, maka teriakan macam itulah yang saya lemparkan pada gubernur yang tak becus membersihkan tempat sampah.. eh.. sungai saya.

Iya sinting. Tapi warga perumahan atau perkampungan kumuh tanpa solusi sampah, mau buang sampah ke mana? Jangankan pemukiman kumuh, yang tidak kumuh juga banyak yang primitif tanpa solusi sampah.

Ini pengalaman pribadi. Di daerah Tangerang tempat saya sering numpang makan, warga kompak buang sampah di lahan kosong dekat SD. Jadi guru dan anak-anak selalu belajar sambil aroma terapi. Kadang tukang sampah inisiatif bikin aksi pembakaran. Jadi bukan hanya gratis aroma terapi, murid dan guru juga menikmati terapi asap. Padahal yang sekolah di situ ya anak-anak mereka sendiri lho, bukan anaknya musuh.

Di kitaran Bogor coret tempat saya numpang tidur, dulunya warga turun-temurun buang dan bakar sampah di tengah jalan. Baru sejak jalan dihotmix dan berubah jadi jalan alternatif untuk orang-orang kaya dari Jakarta yang ingin liburan ke villa, warga  jadi buang sampah ke selokan pinggir jalan. Setiap sore dibakar kalau tidak hujan. Karena ini bukit, tiap hujan deras sampah hanyut ke bawah. Kami 'warga atas' senang karena tempat sampah kembali bersih, persetan dengan warga di bawah sana yang sibuk mengutuki sampah sambil membersihkan gorong-gorong tersumpal sampah kiriman kami. Oh, kami juga tidak sudi patungan bayar tukang sampah. Bahkan lurah kami juga tidak peduli dengan urusan sampah, malah sibuk bisnis properti.

Di Depok, tempat saya sering numpang tidur siang sambil kepanasan, orang-orangnya agak lebih beradab. Tidak semua orang berani buang sampah ke rawa, karena itu tempat warga menanam dan memancing ikan. Banyak warga pilih bayar pemungut sampah yang tiap pagi ambil sampah yang disiapkan di depan setiap rumah, lalu dibuang entah ke mana, mungkin ke provinsi lain. Sebagian warga yang masih biadab tetap tidak merasa perlu bayar tukang sampah, karena mereka masih bebas buang sampah ke selokan-selokan dan lahan kosong.

Kalau Jakarta tempat saya numpang lewat sih memang kelihatannya bersih (kecuali bagian sungai). Tapi sampahnya dibuang ke mana ya? Bogor kah?


Jadi, Guh, inti dari cerita sampah ga jelas ini apa?

Masalah sampah itu tak bakal selesai kalau solusinya parsial. Seperti 'warga bawah' yang walaupun hidup bersih tetap juga kebanjiran karena 'warga atas' masih saja biadab. Sampah harus dijadikan masalah umat, masalah nasional, dan sekalian global.

Pemerintah harusnya kompak, dari pusat sampai RT hingga tingkat kepala keluarga harus diberi penyadaran soal pentingnya solusi sampah. Pemimpin jangan hanya sibuk bisnis sendiri sampai warga tak terurus.

Ulama juga jangan cuma bisanya berisik mainan TOA atau bikin pengajian sambil merokok meracuni umat. Apalagi yang di MUI sana, daripada bikin fatwa memecah belah warga, lebih baik bikin fatwa "Pembuang Sampah Sembarangan adalah musuh Islam." Karena toh jelas-jelas buang sampah itu membahayakan keselamatan umat manusia.

Dan setiap komunitas harusnya diajari untuk bertanggung jawab atas sampahnya sendiri. Orang komplek tidak boleh seenaknya buang sampah di kampung sebelah. Orang bantaran tidak boleh seenaknya lempar sampah ke sungai. Orang Jakarta tidak boleh seenaknya jajan makanan terbungkus plastik lalu bungkusnya dilempar ke Bogor atau Banten.

Limbah organik mestinya bisa diselesaikan ditingkat keluarga dengan pengomposan di lubang-lubang biopori, atau yang tanahnya telanjur dibeton semua bisa keroyokan di level RT. Baru deh sampah plastik dan limbah berbahaya ditangani oleh pihak yang lebih berkompeten.

Setiap orang harus tahu dan merasakan repotnya mengurusi sampah biar tidak lagi sembarangan nyampah. Setiap anak harus bisa memilih jajanan yang sampahnya paling minim sampah.

Gitu.

Iya, ngomong gampang, pelaksanaannya gimana dan dari mana?

Ya... Bisa mulai dari mengganti para pemimpin yang tutup mata terhadap persoalan sampah. Jangan cuma nanya, bantu mikir dan aksi juga dong, saya dah bantu nulis tuh :P