06 Agustus 2015

Bahaya Miskin dan Orangnya

Miskin menurut KBBI:
tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah).
Resiko serba kekurangan, apalagi yang diwariskan turun-temurun, yang paling fatal adalah kurangnya pendidikan. Apalagi dulu saat pendidikan bermutu harganya sangat mahal. Orang tua di rumah tidak waras, pergaulan sehari-hari juga tidak mengajarkan kebijaksanaan, komplit apesnya.

Kurang pendidikan membuat pikiran cenderung sempit dan lemah. Pertimbangannya sedikit dan mudah diperdaya orang. Untuk meyakinkan orang miskin biasanya tak perlu argumen rumit, pakai intonasi dan bahasa tubuh meyakinkan seringkali sudah lebih dari cukup. Urusannya memang sebatas keyakinan, bukan nalar bukan pula pengetahuan. Asal yakin ya sudah, biarpun sangat bertentangan dengan pikiran sehat juga terus dilakukan.

Miskin menyebabkan berpikir panjang jadi sulit, untuk sekedar memproses konsekuensi langsung dari tindakan juga otaknya tak cukup kuat. Orang buang sampah sembarangan, ngerokok sembarangan, corat-coret, vandalis dan merusak sembarangan memang tidak terpikir ada yang dirugikan. Andai berhasil terpikir pun sudah mentok, pikirannya tak mampu memproses lagi. Akhirnya daripada otaknya keseleo, selalu pilih persetan dan mengikuti kecenderungan liar bawaan lahirnya.

Tapi kenapa banyak orang berpenampilan mewah dan tampak berkecukupan tetap buang sampah sembarangan, merokok sembarangan, anak cucunya vandalis, keras dan malingan?

Itu hanya penampilannya. Siapa tahu sejak kakek buyutnya dulu melarat turun-temurun hingga akibat buruk miskin terpatri jadi tradisi keluarga bahkan sampai terprogram dalam DNA. Kalau tidak berjuang sekarang untuk berubah ya terwariskan lagi ke anak cucunya.

Miskin juga menimbulkan tekanan hidup yang sangat tidak menyenangkan. Mau apa-apa jadi terhambat. Jangankan sekedar menggaji asisten rumah tangga sesuai UMR, apalagi untuk menikah, lha untuk makan saja rumit! Tiap hari gelisahnya mikirin besok mau makan apa, bayar kontrakan gimana, cicilan rentenir jual apa. Stress tak berujung jelas perlu pelarian terus-menerus supaya tidak gila. Ada yang lari ke alkohol, judi, rokok, game, sex, agama, kekerasan dlsb. Tensi emosi selalu tinggi walau tak punya tekanan darah tinggi. Gampang marah, mudah diprovokasi melakukan kekerasan.

Bagi hidup bernegara juga berbahaya, karena miskin merendahkan harga diri. Tak peduli sesombong apapun seseorang, kalau miskin ya suaranya murah. 50-100 ribu Rupiah atau malah cuma gombalan surgawi sudah cukup untuk beli suaranya. Ini lebih bahaya dibanding buang sampah atau mencuri singkong tetangga . Suara murah kaum miskin sering diperalat untuk memenangkan penjahat dalam pemilihan pemimpin. Miskin membuat orang tak mampu mempelajari kualitas dan track record calon pemimpin. Yang penting hanya dapat uang sekarang untuk makan, persetan besok, persetan masa depan, apalagi nasib orang senegara, persetan banget.

Dilihat dari kacamata para jahat yang ingin menjabat, orang miskin jelas sangat menguntungkan. Semakin banyak yang miskin, semakin besar peluang menang. Setelah menang, tentu saja harus melestarikan dan memperbanyak kemiskinan untuk persiapan ditunggangi lagi dalam pemenangan pemilu yang akan datang.

Orang baik yang berhasil menjabat semestinya segera mengatasi kemiskinan beserta segala keburukan yang menyertainya. Sebelum kemiskinan itu ditunggangi oleh para jahat untuk menggulingkan pemerintahannya.

Jadi sampai tulisan ini diketik, seberbahaya itulah yang disebut kemiskinan. Bahayanya tidak cuma mengancam si pengidap serta anak-cucunya, tapi adalah ancaman serius bagi tetangga dan sebenarnya bagi seluruh negara. Idealnya, setiap warga mewaspadai lingkungannya hingga begitu ditemukan ada pengidap langsung gotong royong memberi solusi agar segera sembuh dan bebas dari segala efek buruknya.

Sayangnya saat ini lebih banyak yang tak peduli. Jangankan mikirin tetangga, mikir diri sendiri aja nggak sempet... Kalau bukan karena masih merasa miskin, ya sibuk update status.

Ok cukup, waktunya cari duit buat beli waktu sama membebaskan diri dari kemiskinan. Enaknya ditutup dengan pertanyaan iseng untuk stretching pikiran...

Jika ada keburukan bertema kemiskinan selalu terjadi mengikuti kemiskinan dan orang miskin, yang boleh dikambinghitamkan manusianya atau kemiskinannya?
Jika ada keburukan bertema agamis selalu terjadi mengikuti ajaran agama dan orang beragama, yang boleh dikambinghitamkan manusianya atau agamanya?
Kalau "tema agamis" atau "kemiskinan" barusan diganti yang lain gimana?

Semoga saat kamu membaca ini, kemiskinan hanya bisa ditemui dalam pelajaran sejarah manusia saja.

03 Agustus 2015

Yth Pelaku Curhat

Sejak awal penting sekali kamu jelaskan pada si pendengar agar mengerti apa yang sebenarnya kamu perlukan: Saran dan solusi dari masalah absurdmu atau hanya sebatas ingin didengarkan?

Kok gitu lho...

Otak manusia itu terbentuk dari jutaan sel-sel yang pengoperasiannya membutuhkan banyak energi. Adalah pemborosan yang menyedihkan sudah berlelah-lelah menyimak dengan serius, berpura pintar cari solusi, meramu penyampaian menggunakan bahasa yang kamu pahami, eh ternyata yang kamu perlu hanya sebuah pendengar yang tidak perlu punya pikiran.

Tapi kalau sebelumnya diberi tahu nanti tidak serius mendengarkan, takutnya sambil dengerin curhat aku malah dianya main game.

Ya kamu fokus melancarkan curhat saja, tak perlu perhatikan sambilan-sambilan yang bermunculan.

Tapi mendengarkan orang curhat disambi-sambi itu tak sopan,  nanti lost focus gagal menyimak clue penting tentang apa yang aku mau. Misal ingin diraba seperti apa atau ingin diapain bagaimana, atau maunya diajak ngapain dengan cara apaan gituuu.

Woooh, itu gampang. Sebelum kamu mulai curhat, kasih dia handout seperti di seminar-seminar jadul untuk dia baca sambil mendengar curhat. Pastikan handout tersebut padat dan to the point, sukur dilengkapi ilustrasi menggairahkan supaya langsung paham tanpa kebanyakan nanya.

Ga mau.

Baiklah.