05 Juli 2011

Jangan Ganggu Teman Imajiner Saya

Misalnya nih...

Misalnya lho... Saya adalah seorang bujang lapuk hopeless yang cuma punya pacar khayalan. Wajah cantikNya yang agak mirip mantan terakhir, saya bingkai dengan mewah. Wajah terbingkai itu selalu saya puja sebelum mandi dan saya peluk sebelum tidur.

Walau beliau hanya ada dalam imajinasi saya sendiri, tapi keberadaannya saya jadikan motivasi untuk berbuat baik. Setiap perbuatan baik, saya jadikan persembahan bagi Dia Yang Terbingkai.

Lalu sekonyong-konyong Anda muncul dengan sok tahu.
Menjelaskan bahwa pacar saya itu cuma hayalan. Mengatai saya sedang berdelusi. Memvonis saya mencandu ilusi. Lantas dengan jumawa menyuruh saya segera sadar dan melupakanNya.

Dalam kasus seperti itu berarti Anda KURANG AJAR. Seenaknya mengintervensi keyakinan saya. Padahal keyakinan saya tidak merugikan Anda. Saya jelas  tersinggung jika sumber semangat hidup saya, tujuan hidup saya, diganggu dan dipertanyakan.

Idealnya memang manusia tak bergantung pada tokoh-tokoh imajiner. Tapi kan, nyatanya tak semua bisa begitu. Menggeneralisir bodoh seperti itu sama saja seperti  membenarkan seorang pendiri pabrik dildo yang memaki pengemis: "Pemalas! Jangan cuma ngemis! Sana bikin pabrik dildo sendiri!"
Analoginya memang maksa, tapi Anda dapat maksudnya kan?

Generalisir bahwa semua orang dapat mandiri, itu gila. Kapasitas dan kesempatan orang berbeda. Adalah kenyataan bahwa tak semua manusia berhasil mandiri apalagi sampai bikin pabrik dildo sendiri. Banyak dari kita yang selamanya bergantung pada pihak lain. Ketergantungan bisa secara finansial, emosional, seksual, spiritual, dsb. Tempat bergelantungannya juga bisa sesama manusia, bisa teman imajiner, atau guru-guru berkualitas superhuman. Atau candu-candu.

Bagi kami yang suka bergelantungan pada teman imajiner, yang terpenting adalah tujuan dan semangat hidup yang kami dapatkan. Dan siapapun boleh saja mengklaim keberadaan apapun.

Anda boleh beriman bahwa di luar angkasa ada vagina maha sempit yang selalu menghisap apapun kedalamnya, bahkan cahaya sekalipun. Atau meyakini bahwa di pusat bumi ada penis maha keras yang terus menerus memuntahkan magma. Tidak perlu ribut soal bukti yang mendukung (atau menentang) keberadaannya. Yang penting diimani, lalu berbuat baik dengan semangat pengabdian yang didapat dari keyakinan itu.

Keyakinan saya pada keberadaan Tuhan, atau keyakinan Anda pada Dewa, Poci Sakti, Monster Spagheti dan apapun yang dianggap Maha Suci adalah salah satu diantara hak yang paling asasi.

Hak beribadah juga asasi

Tidak jadi masalah walau Sang Hyang Pacar Imajiner saya mulai bikin perintah aneh-aneh untuk diterapkan. Misal, pacar imajiner saya minta agar lelaki harus pakai kondom bila keluar tanpa muhrim, yang tidak mau pakai maka tititnya harus dicabut sampai ke akar.

Selama hanya saya sendiri yang mentaati bagi diri saya sendiri, tanpa melanggar hak orang lain, tidak ada masalah. Bahkan jika teman-teman saya ikutan karena merasa senasib atau karena bersimpati pada nasib saya yang kelamaan jomblo sampai hampir gila, itupun tidak ada masalah. Munculnya ulama dan ulamawati yang mengendus-endus peluang dagang kondom juga tidak perlu diributkan.

Tapi...

Jika saya mulai mulai memaksa Anda atau siapapun untuk pakai bungkus karet tiap keluar rumah, apalagi sampai berusaha mengambil alih pemerintahan negara agar aturan suci dari pacar imajiner bisa saya tegakkan dan paksakan atas Anda semua... Maka saya yang pantas disebut kurang ajar. Konyol. Gila.

Karena aksi pemaksaan yang mulai saya lakukan, maka Anda juga berhak (dan malah wajib) berusaha menyadarkan saya bahwa aturan gila tersebut tidak perlu dipaksakan ke orang lain. Kalau saya ngotot, Anda berhak untuk mempermasalahkan sumber aturan yang saya imani. Silakan kupas tuntas bagaimana keyakinan saya pada pacar imajiner itu sudah mulai bikin masalah. Ungkap gimana imajinasi saya sudah sampai pada taraf membahayakan masyarakat dan harus diperbaiki.

Sebaiknya jangan cuma sebatas mengkritik atau dekonstruksi, apalagi sekedar menghujat. Cobalah kreatif dan memberi solusi. Berikan pada saya alternatif tempat bergelantungan yang lebih sehat agar tak lagi tergantung pada pacar imajiner yang sifatnya sangat merusak. Sukur-sukur kalau bisa mengubah saya jadi berani mandiri tanpa tergantung pada pacar imajiner.

Penting...

Jangan pernah tanpa alasan mempermasalahkan eksistensi pacar imajiner pujaan saya. Mendadak usil itu tampak seperti preemptive attack ala kafir paranoid. Hanya membuat Anda tampak seperti orang jahil kurang kerjaan. Hasilnya cuma ketersinggungan. Kemarahan. Kebencian. Dan perlawanan.

Harus jelas apa sebabnya anda harus usil.

Jika saya dapat memahami bahwa kritik Anda adalah respon akibat saya memaksakan aturan gila, bukan semata usil, maka ada harapan untuk terjadinya dialog yang konstruktif diantara kita.

Bahkan walau saya terlanjur bermutasi jadi fundamentalis haus darah, yang anti dialog, yang terobsesi maksa-maksa.... Tetap Anda punya harapan lebih besar untuk menyadarkan orang-orang yang bersimpati pada saya. Karena disitu posisi Anda adalah korban terzalimi yang membela diri, bukan agressor iseng yang menyerang dengan arogan.

Para penyimak akan terpicu untuk berpikir, dan dapat melihat bahwa sayalah yang punya masalah kejiwaan, bukan anda yang jahil dan kurang kerjaan.

Mengkritisi berbagai pemaksaan dan penindasan akibat ajaran agama atau kecanduan rokok atau sebab apapun lainnya, sebaiknya juga mempertimbangkan saran-saran diatas, hehe.

Demikian.

CMIIW :)



+ Gambar dari rhysrodgers, memang kurang nyambung.
+ Sedikit manfaat dari memiliki teman imajiner ada di wikipedia

2 komentar:

  1. Jika yang Imajiner, yang mengatakan tidak usah berteman dengan yang Imaginer, trus yang memaksakan Imaginer menguasai negara dan dijadikan hukum, itu bertemu dalam sebuah arus pertentangan. Dimana kita harus memihak. Apakah musti "diam" atau "mengambil sikap". Pihak yang mana yang harus saya ambil jika kedua/ketiga arus itu sama sama "keras"?

    BalasHapus
  2. @Haqiqie, gimana kalau pihak yang menang? hehe. *gabener*

    BalasHapus