26 Januari 2014

Cuci Piring dan Penguasa

Saya seorang pencuci piring amatir. Jika sudah kehabisan piring atau panci untuk masak mie instan, dengan sangat terpaksa akan berniat mencuci piring. Seringnya berakhir dengan mencuci sekaligus agar sekalian bersih dan irit sabun.

Update kali ini saya ingin menuliskan pemikiran yang muncul dari aksi mencuci tadi.

Saat seorang mengaku mencuci piring, normalnya yang dicuci tidak cuma piring, tapi juga gelas, panci beserta segala perabot yang pastinya punya ukuran dan bentuk tidak serupa.

Tahapan kerjanya: Dari tumpukan kotor masing-masing disabun, lalu ditumpuk dulu di penimbunan sementara sambil menunggu kotoran luntur sambil menyabun yang lain, lalu setelah semua atau sebagian (tergantung kapasitas ruang penimbunan) selesai disabun, baru deh dibilas sampai bersih. Kemudian ditiriskan atau langsung lempar ke tempat perabot bersih.

Nah, di tahap penimbunan tersebut selalu terasa kesulitan menyusun segala perabotan yang bentuknya bervariasi ke dalam tempat yang terbatas. Sebagai amatir dengan kompetensi sangat terbatas, tantangan untuk menyusun aneka bentuk agar pas dan aman dalam tempat terbatas itu cukup untuk memicu makian, keluhan, dan sekedar harapan "ah, seandainya semua benda terkutuk ini ukuran dan bentuknya serupa, tentu lebih mudah untuk disusun".

Di situ saya tersadar, betapa lebih mudah mengelola sesuatu yang seragam dibanding yang bervariasi. Hal yang sama pasti terjadi dalam pekerjaan-jabatan yang lebih bergengsi. Langsung saya ingat pada para pemimpin dan penguasa.

Sebagai pemimpin yang berkuasa atas sekian banyak manusia, akan lebih mudah pekerjaannya jika para manusia yang dimanage itu seragam. Mengatur sesuatu yang seragam tidak perlu terlalu banyak mikir, satu trik akan efektif untuk semuanya. Seperti piring yang kalau bentuknya seragam lebih gampang ditimbun, gampang diatur, gampang diarahkan dan... dikendalikan untuk tujuan apapun.

Itulah kenapa kebanyakan pemimpin suka sekali menyeragamkan warganya, pasti karena yang seragam itu lebih mudah diatur, dikendalikan.

Heh, lalu apakah sepanjang ini bikin tulisan intinya hanya ingin menyampaikan fakta garing nan pasaran tentang bagaimana para pemimpin suka sekali keseragaman???

Ya ndak cuma itu sih. Dari sini saya juga ingin mencibiri pemimpin yang suka memaksakan keseragaman itu menurut saya kelasnya hanya seperti tukang cuci piring... itupun yang amatir, ecek-ecek.

Pemimpin yang mampu memimpin itu mampu mengayomi setiap golongan, walau masing-masing berbeda dengan ciri khasnya masing-masing. Pekerjaannya jelas  sangat sulit, dia harus banyak mengajarkan musyawarah untuk mufakat, perlu kerja keras membangkitkan rasa saling pengertian dan saling menghormati. 

Tapi yang banyak bertebaran justru pemimpin ecek-ecek. Mereka suka menutupi ketidakbecusannya dalam memimpin dengan mengambil jalan mudah, menggunakan kekuasaan yang diamanatkan untuk memaksakan keseragaman. Menyeragamkan hal-hal yang tidak sepantasnya diselesaikan dengan pemaksaan keseragaman.

Heh...?
Lalu apa semua yang namanya keseragaman itu buruk?
Batasnya apa?
Siapa yang berhak menentukan batasan?

Ya monggo dipikir saat mau dan sempat, sambil mencuci juga boleh.

1 komentar:

  1. Saya mencuci piring dengan cara yang sama, dan sering diprotes ibu negara. Istri saya biasanya mencuci piring sampai tuntas per piring: dibasahi, disabun, kemudian dibilas. Setelah itu baru beralih ke piring lainnya.

    BalasHapus