21 Mei 2012

Karena informasi seperti makanan, waspadalah

Kali ini saya coba menceritakan ulang apa yang saya tangkap dari omongan JP Rangaswami di TED, tentunya dengan 'sedikit' bumbu tambahan:

Penikmat makanan punya bermacam sifat. Misalnya, yang selektif akan memperhatikan informasi kandungan nutrisi. Sedangkan yang rakus melahap apapun yang penting enak dan bisa ketawa. Atau, ada juga jelata nestapa yang tidak peduli dengan efek dari apa mereka telan, yang penting makan dan bertahan hidup.

Pelahap informasi juga serupa, ada yang skeptis peduli fakta, ada pula omnivora lugu yang menganggap setiap informasi tersaji sebagai kebenaran sejati, dan lain sebagainya.



Begitu pula dalam penyajian, sama seperti menyajikan makanan. Ada yang dimasak dulu agar informasi mudah dicerna. Ada yang menyampaikan mentah-mentah, campur aduk. Ada  yang dicampur bumbu berlebihan supaya lebih menarik. Ada pula yang dicampur "racun" untuk "membius" siapapun yang makan supaya mudah dieksploitasi.

Poin yang terasa penting: Efek terhadap kesehatan konsumen.

Sebagaimana makanan, informasi juga ada yang bermutu, ada pula yang sampah. Yang bermutu akan mendidik, mencerahkan, bikin kreatif, memerdekakan pikiran. Sedangkan informasi yang sampah banget, hanya akan buang waktu, bikin penyakit atau memang sengaja dimasak untuk menyesatkan dan memperbudak pikiran konsumen.


Sebagai pemangsa yang peduli kesehatan diri (dan lingkungan), kita perlu memilih informasi yang menyehatkan. Jauhi makanan sampah sumber penyakit, jangan pula malah menyebarkan pada orang di sekitar kita. Kasihanilah teman-teman yang sejak kecil diajari orang tuanya untuk percaya membabibuta. Janganlah kita membantu orang-orang licik yang ingin meracuni dan menguasai pikiran mereka. Jika mampu dan punya waktu, sempatkanlah untuk memperingatkan mereka akan bahaya yang dalam informasi yang sedang beredar.

Tentu sebatas memperingatkan saja, tidak perlu memaksa dengan kekerasan. Karena menu yang menyehatkan bagi seseorang belum tentu menyehatkan bagi yang lain. Mungkin malah menyakitkan dan menyebalkan. Begitu pula sebaliknya.

Oh iya, satu lagi, jangan lupa olah raga... eh, olah pikiran. Sebagaimana terlalu banyak makan tanpa latihan badan bisa menyerumuskan manusia ke jurang obesitas... Maka terlalu banyak menelan informasi tanpa melatih pikiran akan mengubah kita jadi semacam "repeater yang bisa horny", atau pentaklid buta, atau semacam kengerian yang sering berkeliaran di TV, di sekolah dan di berbagai media sosial, hehe.

Sekian.

Gambar dari Joachim Stroh.

2 komentar:

  1. Sepertinya saran diatas bisa diterapkan ke siapa aja. Orang Islam bisa bilang begitu dengan kriteria makanan sehat subjetifnya, Orang Hindu juga bisa seperti itu, Orang Kejawen dengan makanan / info sehat sesuai kriterianya, dan seterusnya.

    Jadi simalakama juga itu. Sehat seperti apa standartnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Suluh, Bener banget. Emang begitulah adanya. standar satu orang belum tentu cocok untuk standar yang lain.

      Imo, pada awalnya setiap orang pasti berusaha conform dengan standar yang ditentukan orang tua, teman, masyarakat atau siapapun yang dia harapkan penerimaannya (naluri cari selamat). Sejalan dengan perkembangan pikiran dan lunturnya ketergantungan pada orang lain, dia akan mulai berani menentukan standar sendiri. Dengan memilih "makanan" yang membebaskan dan memberdaya, bukan yang melumpuhkan atau memperdaya.

      Tapi barusan itu pandangan lugu saja, haha. Nyatanya sih setiap pemimpin sekte/agama/negara sangat berkepentingan untuk memilihkan makanan/informasi yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi umatnya. Supaya kuasanya tetap lestari dan tidak kehilangan umat. Jadi jawaban pertanyaan sampeyan: Standard yang ditentukan pemimpin, ulama, gembala, atau penguasa atas pikiran-pikiran kita.. hehe. Kalau sesuai ya kita selamat, kalau tidak berarti sesat, jiwa bisa terancam.

      Hapus