21 Juni 2012

Pembenaran Rektor soal Beasiswa dan Sponsor Rokok

Ilustrasi dari Indra Triwahyudy

Sebuah dialog imajiner dengan rektor yang membiarkan kampusnya disponsori rokok. Mulai beasiswa sampai pengadaan fasilitas menikmati duit rokok, akhirnya semua sudut kampus dipenuhi iklan rokok. Sampai-sampai ada menyangka itu gudang tembakau.

Pencerahan dari Sang Rektor dalam dialog ini mengajak kita untuk tidak lagi menyudutkan perokok, pedagang atau pabrikannya, tapi mengusulkan sebuah win-win solution yang menyenangkan semua pihak.

Inilah dialognya, siapkan teh atau kopi, atau jika anda pecandu, silakan siapkan asbak.

Q: Kenapa mengizinkan pabrik rokok jadi sponsor dan membiarkan rokok melakukan iklan terselubung di setiap sudut kampus?

A: Oh, yang ditempel-tempel mewah itu? Itu kan nama yayasan, bukan nama pabrik rokok.

Q: Saya yakin, Anda jadi rektor bukan karena mahir berpura-pura dungu. Terbuka saja lah.

A: Hahaha, baiklah. Jika memang iklan rokok, lalu kenapa? Toh itu memberi kita fasilitas yang lebih baik, membantu kita dapat belajar dengan lebih nyaman. Ada masalah? 

Q: Anda tidak keberatan walaupun uangnya berasal dari penjualan rokok? Rokok yang memiskinkan dan menjerat kaum miskin tak terdidik dengan candu dan penyakit?

A: Kenapa tidak? Lewat CSR pendidikan, industri rokok bisa dapat potongan pajak sambil numpang iklan di kampus. Mereka girang, kita juga senang dapat fasilitas keren. Uangnya jadi jelas mengalir untuk pendidikan. Ini lebih baik daripada uang dibuang sebagai pajak yang memperkaya upline-uplinenya Gayus dan Dana yang sampai kapanpun tak bakal ditangkap. Dan yang terpenting, mahasiswa melarat tapi berprestasi bisa dibeli, eh didanai agar berhasil punya titel.

Q: Tapi dengan membantu iklan rokok, berarti anda sudah mendukung kapitalis-kapitalis rokok untuk mengubah lebih banyak manusia menjadi pecandu rokok. Anda kan tahu, iklan rokok sengaja mengincar kaum muda dan anak-anak? Mereka terang-terangan berusaha membuat anak-anak tertarik mencoba agar kecanduan rokok.

A: Ya, lalu masalahnya apa? 

Q: Anda tidak merasa ada yang salah?

A: Adik manis yang lugu, gini deh... Pernah belajar sejarah? 

Q: Sedikit, kenapa gitu?

A: Pernah dengar bagaimana manusia eropa menjajah manusia di benua-benua lain? Dengan menjajah mereka mendapatkan sumber daya yang diperlukan untuk meraih kemajuan. Kemajuan yang akhirnya akan dinikmati juga oleh anak cucu kaum terjajah.

Q: Hmmm...?

A: Ok, ingat sejarah pertambangan batu bara. Budak-buruh tambang sangat tidak sehat, bergaji kecil, tereksploitasi habis-habisan, di China ribuan orang tewas setiap setahun. Coba perhatikan yang ada dibalik kekejian itu? Walau ribuan jiwa dikorbankan, namun ada sebagian lain memperoleh energi yang dibutuhkan untuk memajukan peradaban! 

Q: Hmmm...

A: Contoh lagi, para pemilik modal merekayasa perang-perang besar dalam sejarah. Jutaan orang tak berdosa mati sia-sia demi membuat segelintir pengusaha, pedagang senjata, pedagang minyak dan pedagang utang jadi super duper kaya raya. Dari satu sisi tampak kejam, tapi pihak yang kaya dari industri perang juga menggunakan uangnya untuk memajukan teknologi yang kita nikmati sampai sekarang. Kamu sampai sini tanpa tersesat mengandalkan GPS kan? Lha itu teknologi asalnya untuk kepentingan mbunuhin orang. Kamu bisa sexting dan telpon cabul, itu juga pakai handphone yang awalnya dari teknologi militer. 

Q: Tapi... apa hubungannya?

A: Masih belum jelas? Ini contoh yang terdekat dan ternyata deh. Lihat pemerintah negeri ini. Kebijakan tambangnya saja. Tanah air diobral ke asing, penduduk sekitar tambang dikorbankan atau disingkirkan. Warga lokal yang berisik ditembaklenyapkan. Dari satu sisi tampak keji, tapi hasil tambang itu jadi bahan baku untuk bikin komputer kita, juga jadi energi untuk menyalakannya. Kita bisa naik mobil ber AC untuk nongkrong di kafe pakai bahan bakar dari tambang minyak, bisa ngeblog dan ngebuzz isu-isu gak penting itu komputernya juga dari hasil tambang metal. Kita enak-enakan di Jawa ini sebenarnya juga berkat terjadinya penindasan yang terjadi di luar jawa sana.

Q: Anda ingin bilang bahwa untuk maju, memang harus ada pengorbanan?

A: Betul sekali. Tapi jangan korbankan diri sendiri, korbankan pihak lain. Seperti kaum religius yang mengorbankan hewan-hewan demi surga yang dijanjikan Tuhan, kita yang well educated mengorbankan orang lain untuk kemajuan peradaban dan kemanusiaan, haha.

Q: Hmm... Mengorbankan orang lain...? Jadi dalam soal rokok juga sama? Perokok sengaja dikorbankan, yang penting kita bisa menikmati beasiswa dan fasilitas wah?

A: Wuueeiiiiits, "dikorbankan" itu kosakata yang kasar Bung! Kasus rokok jelas berbeda. Korban rokok tidak seperti korban penjajahan atau perbudakan yang berurai air mata. Tidak seperti hewan-hewan yang disembelih demi Tuhan. Para perokok ini bahagia, dieksploitasi dengan sukarela. Mereka bekerja keras banting tulang cari uang, lalu dengan sukacita membelanjakan hasil keringatnya untuk beli rokok. Mereka bahkan sukarela mengorbankan kepentingan anak istrinya demi membeli rokok. Dan semua itu dilakukan sukarela, bahagia dan tanpa paksaan!!

Q: Tapi mereka lakukan itu karena kecanduan!

A: Memang. Itulah mukjizat candu yang maha kuasa, mampu membebaskan manusia dari derita dan rasa bersalah, melipur duka lara, membuat manusia tetap bahagia walau sedang diperdaya. Budak jaman sekarang nyaris tidak ada yang terpaksa, kebanyakan justru bangga, merasa keren, gengsi dan martabatnya terangkat. Bagi banyak orang jaman sekarang, diperbudak rokok adalah sebuah kemewahan.


Q: Itu kan cuma hasil manipulasi pikiran lewat pengulangan iklan. Hipnotis massal.

A: Ya tidak penting sebabnya apa. Bagi mereka, itulah kebenaran sejati, dan kita harus menghargai. Kembali ke sejarah, dulu, di jaman primitif, ada agama yang memaksa umatnya untuk mengulang-ulang kesaksian palsu, sekian puluh kali setiap hari. Agamawan mereka tahu, sebohong apapun sebuah pernyataan, jika diulangi dengan intens dan disiplin, manusia akhirnya akan percaya. Akhirnya kesaksian palsu pun diyakini sebagai kebenaran sejati. Sekarang, dengan taktik repetisi yang sama, rokok meyakinkan anak manusia bahwa rokok itu keren, bercita rasa sukses, gaul, cool  dsb... hingga tergoda mencoba...

Q: Dan kecanduan!!

A: Yup, dan setelah kecanduan tidak perlu dipaksa atau dihasut lagi, tetap akan taat. Pecandu akan membela candunya sepanjang hayat, dengan segala cara, jika perlu dengan mengarang dan memaksakan kebohongan. Kamu tahu bahwa berkeyakinan termasuk hak yang paling asasi? Kita tidak boleh melanggar HAM lho, hahaha.

A: Huh, blasphemy! Tapi di sini yang kaya adalah kapitalis rokok dan penjual candu!

A: Disitulah fungsi pajak dan terutama CSR, Nak. Agar sebagian harta pedagang candu bisa mengalir ke kita, memajukan dan memewahkan universitas tercinta kita ini!  Mirip zakat dimana sekian persen kekayaan disumbangkan untuk fakir jelata yang membutuhkan, si kaya senang dapat pahala dan hartanya bersih dari dosa, si miskin juga senang kecipratan uang cuma-cuma. Dalam CSR malah lebih baik, karena sambil cuci dosa, si kapitalis bisa numpang iklan... plus dapat potongan pajak.

Q: Sekalian sambil membuat siswa terjerumus iklan? Jadi pecandu? Mengorbankan siswa? Universitas macam apa yang menghasut dan menjerumuskan mahasiswanya dalam jerat candu?

A: Nak, ingat, tidak ada yang memaksa manusia jadi perokok kecuali diri mereka sendiri.

Q: Lho, yang terpaksa merokok itu banyak lho. Anak dan keluarga dari seorang ayah/ibu perokok terpaksa menghisap asap perokok, malah ada perokok pasif yang terasapi sampai mati seperti tikuyuz. Juga di kendaraan umum, ruang rapat dan gedung-gedung publik dimana banyak sekali perempuan dan lelaki pengecut yang dipaksa jadi perokok bodoh oleh para pejantan tangguh yang enjoy aja merokok sembarangan.

A: Nah, kalau itu jelas takdir. Allah Yang Maha Bijaksana pasti punya alasan sehingga mereka punya ayah/ibu berkelakuan macam itu... Atau mengapa punya kepengecutan sedahsyat itu hingga mau diasapi tanpa keberatan, haha.

Q: Subhanallah ya... Ok, kembali pada iklan terselubung di kampus. Bukankah efeknya memanipulasi pikiran. Siswa dibuat akrab dengan brand, lalu mulai menganggapnya baik dan wajar. Nanti akan tergoda mencoba dan terjerumus jadi pecandu. Lalu jika terlalu banyak teman yang merokok, setiap individu juga merasakan peer pressure untuk ikutan merokok agar bisa nyaman bergaul dalam kelompok perokok.

A: Jika ada manusia yang semudah itu jatuh dalam manipulasi iklan, atau menyerah terhadap peer pressure... Ya mungkin sudah takdirnya begitu. Ratusan tahun leluhur kita dijajah Belanda, mungkin saja mental budak tercetak dalam DNA kita, mungkin cetakannya lebih bold pada sebagian orang, haha. Siapapun akan mudah memperbudak pikiran mereka. Lha kalau bukan kita yang mengeksploitasi mereka, pihak lain pasti akan melakukannya. Mereka sumber daya yang tersia-sia jika tidak dimanfaatkan. Sponsor kita hanya mengklaimnya, tanpa memaksa.

Q: Tapi bukankah tujuan pendidikan justru untuk memberdaya siswa, agar mampu berpikir dan tidak mudah diperbudak???

A: Tepat sekali. Universitas saya ini maksimal banget mengusahakan itu. Itulah mengapa kita berani tempel iklan candu di setiap sudut tanpa khawatir ada siswa yang jatuh dalam manipulasi rokok. Itu semata untuk menyenangkan sponsor dan mendapatkan uang lebih banyak dari mereka. Jika masih ada yang jatuh dalam iklan, ya mungkin malas belajar, atau DNAnya memang begitu... Ya sudah takdirnya jadi rejeki tukang rokok, hahaha.

Q: Lalu bagaimana dengan mutu lulusan pendidikan yang disponsori rokok ini? Mereka pasti akan bias dan merasa hutang budi pada candu. Dan jika nanti jadi pemimpin, pasti juga lembek dan tidak mampu tegas terhadap industri candu. Pasti juga akan ikut melestarikan gaya penguasa lama yang dengan gampang mengorbankan segelintir (atau segelontor) warga demi kepentingan ekonominya.

A: Ya inilah hidup Nak. Manusia masih serigala bagi manusia yang lain. Toh sekarang kita lebih civilized. Jika leluhur kita memperbudak pakai cambuk pari dan rantai besi, sekarang kita main lebih cantik... Kita cambuki para budak dengan iklan manipulatif yang diulang-ulang sampai akal sehatnya runtuh, diulang terus hingga segala belengu fanatisme, nasionalisme, sigaretisme, pokoknyaisme, konsumerisme atau isme apapun yang kita mau.... tertanam dan memperbudak mereka.

Q: Hmmm... Jadi... Jika tidak ada yang merasa diperbudak, maka tidak ada perbudakan. Begitu?

A: Pintar!

Q: Hmmm... Tapi saya tetap merasa ada yang tidak beres. Saya tidak nyaman ada universitas punya rektor yang berpikir seperti anda. Para alumninya akan membuat dunia kita jadi semengerikan apa tuh?

A: Aaah, lebay. Pasti seseorang sudah mencuci otak kamu dengan ide utopis, membuat kamu sok idealis. Sok-sokan membela manusia, ingin membebaskan perokok dari belengu candu? Haha. Itu sama saja kamu ingin membebaskan orang dari manipulasi agama. Yang kamu bela justru merasa tersinggung. Kamu akan dianggap sesat dan pantas dipenggal di alun-alun, diiringi pekik-pekik penuh keimanan.

Q: Tidak usah dikait-kaitkan dengan agama lah. Mau mengalihkan perhatian ya? Fokus saja soal sponsorship dan beasiswa rokok ini, jadi menurut anda baiknya disikapi gimana?

A: Ya tanya ke diri kamu, maunya apa. Apa benar kamu ingin merampas kenikmatan para perokok, kesejahteraan petani serta pelintingnya dan kenyamanan para pedagangnya? Atau sebenarnya ada keinginan lain, yang dapat dipenuhi tanpa mengganggu keimanan atau kenyamanan orang lain?

Q: Hmm... Saya ingin bernafas tanpa diganggu asap perokok. Di rumah, di angkot, di ruang publik, di kantor, di manapun.

A: Nah, kalau maunya sudah jelas kan enak. Berarti yang perlu diusahakan bukan kampanye berhenti merokok, bukan kampanye pembubaran pabrik rokok, tapi kampanye merokok secara keren. Ajak industri rokok dan pemerintah agar mempromosikan itu.

Q: Hehe,  merokok secara keren?!?

A: bTul!! Dan satu hal lagi, selama ini peringatan kesehatan terlalu fokus ditujukan pada perokok, padahal jelas-jelas mereka tidak peduli kesehatan, hasilnya pemborosan energi yang sia-sia. Harusnya peringatan lebih intens ditujukan pada orang yang tak merokok, agar sadar dan waspada jika ada pecandu sedang berasap. Dengan kesadaran kesehatan yang lebih baik, mestinya pihak industri rokok bersama pemerintah dan warga non perokok bisa bekerjasama untuk memfasilitasi dan mengarahkan para perokok agar dapat menikmati rokoknya secara aman dan keren.

Q: Hufff... Mungkin memang tidak salah anda jadi rektor. Terima kasih untuk dialog yang mencerahkan ini.

A: Kembali kasih. Sekarang kamu tidak usah usil soal sponsorship dan beasiswa rokok. Semua itu sebenarnya tidak mengganggu kok, toh yang terjerumus juga hanya dari kalangan tertentu saja. Anggap saja seleksi alam.

- - - - - - - - -
Catatan: Dialog di atas murni imajiner. Semua tautan yang disertakan hanya cocologi belaka untuk kepentingan berbagi traffic (sambil menyodorkan bukti). Jika tampak ada kaitan dengan tokoh dan kejadian nyata, itu murni karena disengaja :)

Jadi gimana menurut anda jika kampus, institusi pendidikan disponsori rokok?


- - - - - - - - -

1 komentar:

  1. Brilian! Saya sangat suka kemampuan Anda meringkas banyak aspek dari masalah pelik ini menjadi bacaan yang terkesan ringan, namun tetap sangat mencerahkan. Sebuah kritik yang efektif. Terima kasih banyak!

    BalasHapus