Beberapa hari yang lalu saya baca berita kasus Koh Ahok yg tersandung "Ahok Center". Tampak jelas berbagai pihak begitu cekatan memanfaatkan momentum untuk mengenyahkan relawan-relawan tsb.
Saya heran, apa urgensinya menyingkirkan para "relawan" tersebut? Bukankah bagi rakyat justru menguntungkan jika kinerja orang-orang dinas lebih terawasi, apalagi selama puluhan tahun ini pejabat DKI memang terkenal kurang jujur kan?
Sambil nongkrong mendengarkan gemericik air, tiba-tiba saya tercerahkan dan punya bahan untuk update blog.
Jadi gini masbro, mbaksis...
Manusia itu, sekeren dan secerdas apapun, pemikiran dan kebijakan yang dia ambil tetap sangat tergantung pada kelengkapan informasi yang dia punya. Kebijaksanaan seseorang hanya bakal seluas wawasan yang dimiliki.
Misal saya sebagai ababil yang pergaulannya 99% dengan orang perokok, lalu orang-orang yang saya kagumi dan jadikan panutan juga aktif merokok. Pagi siang malam tontonan TV saya iklan rokok. Keluar rumah juga sepanjang jalan saya dibombardir ribuan billboard pencitraan tentang betapa keren dan mantabnya merokok. Tanpa kenal satupun sumber medis atau sains yang berani kritis terhadap kemapanan tradisi rokok, niscaya saya akan menganggap kegiatan merokok itu sebagai budaya bangsa yang wajar dan normal. Mungkin orang yang tak merokok akan saya anggap banci sok sehat yang benci pada kesejahteraan petani tembakau. Atau hater sok nonmainstream yang dengki pada kemahabesaran Phillip Morris, Djarum dan Gudang Garam.
Atau jika seandainya saya seorang PNS baru diangkat yang ditempatkan di sebuah kantor yang dijejali tua bangka korup. Setiap harinya mesti menyaksikan aksi korupsi dilakukan berjamaah dalam segala gaya. Pulang ke rumah langsung dimotivasi oleh istri, mertua dan tetangga materialistis yang menilai kesuksesan hanya dari jumlah harta dan tahta yang dimiliki. Jika tiap harinya gitu, saya tak akan butuh waktu lama untuk bermutasi jadi koruptor yang lebih kreatif dan efisien. Saya bakal korup dan sogok sana-sini, koleksi properti sambil memenangkan berbagai kompetisi perebutan jabatan.
Aih, narsis sekali ya contohnya saya terus? Satu lagi deh pakai contoh realistis.
Presiden kita Mbah SBY yang terhormat. Mungkin saja dulunya beliau memang orang baik, jujur dan pro rakyat banget. Tapi setelah jadi presiden, langsung dia terputus dari sumber kebijaksanaan, sumber kritik dan introspeksi yang dulu menjaga keseimbangan pikirannya. Hidup sebagai Presiden, tiba-tiba SBY mesti intens dikerumuni oleh para Poltak raja minyak dan Para Nasrudin selama 24 jam sehari, 7 hari setiap minggu... nonstop! Lambat laun isi kepalanya jadi singkron dengan mahluk-mahluk yang gentayangan mengerumuninya.
Suara-suara di "lingkar dalam" yang begitu bising membuat jerit tangis rakyat yang ada di luar lingkaran tak terdengar sama sekali. Informasi yang berhasil masuk telinga mungkin sekali telah diedit oleh para pembisik dan penjilat pantat. Data yang masuk telah disesuaikan dengan berbagai kepentingan yang sebagian sangat tega terhadap rakyat. Saya pikir, fenomena inilah yang menjelaskan kenapa SBY berprilaku seperti yang kita lihat selama ini.
Ah, kita kembali ke Koh Ahok yang kesandung.
Dari sudut kepentingan Ahok, mungkin ini sebabnya dia merasa perlu bawa-bawa "relawan" untuk membantu mengawasi kinerja para birokrat yang diwarisinya dari rezim sebelumnya. Dia tahu rimba birokrasi macam apa yang dia masuki, sebuah belantara penuh hewan buas yang sudah terlalu mapan dalam kenyamanan surga korupsi. Nekat masuk tanpa dikawal orang yang dapat dipercaya, nasibnya bakal seperti sang Pesinden yang begitu menjabat langsung tersesat dalam rimba birokrasi dan terpisahkan dari rakyatnya. Jika informasi yang diterima hanya mengandalkan jilatan lidah-lidah korup warisan leluhur, pikiran akan cepat teracuni, pantatnya basah dijilati, kebijakan yang dibuat pun mudah disetir kepentingan pihak yang jahat.
Sedangkan dari kaca mata para anti-Ahok, melestarikan kemapanan dan tradisi korup warisan leluhur tentunya jadi salah satu tujuan utama. Tersingkirnya para relawan hanyalah langkah pertama dari usaha untuk mem-buta-tuli-kan Ahok. Alasan yang dijadikan senjata sebenarnya sudah keren: "pemimpin macam apa itu jika tidak bisa percaya pada kinerja bawahannya, masa sampai perlu melibatkan relawan untuk pengawasan?!?" Dengan nada-nada macam itu saja kita sudah berhasil mengajak para awam untuk meragukan kewibawaan dan kepemimpinan Ahok.
Tapi ya... Menurut saya cara begitu kurang elegan. Mestinya bisa main lebih cantik. Daripada menyingkirkan Ahok Center / CDT / Whatever itu dengan cara yang terlalu vulgar, bukankah lebih efektif merayu orang-orang kepercayaan ahok itu hingga jadi orang korup? Suap bertahap saja, dikit demi sedikit kasih parcel, sibukkan dengan bisnis apa lah, gimana gitu sampai mereka jadi rakus. Biar nanti mereka sendiri yang menjatuhkan Ahok dengan korupsi berjamaahnya.
Ahok sendiri juga mesti terus hati-hati. Kalau memang ingin terus pakai "watcher" sebagai pihak ketiga untuk mengawasi kinerja bawahannya, perlu serius dipikirkan who will watch the watcher?
Saya lihat meyoutubekan segalanya adalah awal yang baik untuk bikin rakyat tahu apa yang terjadi di balik pintu ruang kerjanya. Media manipulasi massa jadi sulit memelintir pernyataan dan kenyataan karena rakyat bisa menonton sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Tentu saja masih terasa kurang transparan. Mungkin kedepan perlu itu pasang CCTV di setiap gedung pemerintahan lalu distreaming ke publik. Ditambah mewajibkan kalung tracker GPS realtime terpasang di leher pejabat selama menjabat agar rakyat dapat mengawasi kelakuan para abdi negara tersebut. Untuk semacam Jokowi yang gemar berkeliaran mungkin bisa diharuskan pakai gadget macam Google Glass untuk update real time ke rakyat biar tahu dia blusukannya itu ngapain aja.
Transparansi yang setransparan itu dapat dimulai dari para watcher-nya Ahok. Kalau rakyat bisa mengawasi mereka, tak bakal lagi muncul tuduhan nista macam "korupsi dana CSR" :))
Gimana menurut sampeyan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar